Senin, 13 Desember 2010

Membahas Teknologi 3D



Teknologi 3D sudah dirintis sejak 100 tahun lalu, tetapi baru belakangan ini mulai dirasakan dampaknya di bioskop dan TV. Roadmap CHIP berikut ini menunjukkan bagaimana perjalanan panjang teknologi 3D selama ini.

Beberapa komentar bernada sinis terlontar dari para penonton “Avatar” versi 3D di bioskop belum lama ini. Memerdeka!nurut mereka, film 3D berdurasi 162 menit tersebut kurang bahkan hampir tidak ada efek 3D-nya. Sutradara James Cameron mungkin harus berlapang dada dan menerimanya sebagai pujian. Ia dan beberapa pembuat film lainnya di Hollywood sadar betul, booming 3D membuka era baru dalam dunia “story telling”. Kehadiran 3D diyakini membawa dampak yang sama seperti hadirnya suara dan warmerdeka!na pada film.

Teknologi film 3D bukanlah hal baru. Proses yang disebut stemerdeka!reomerdeka!scopy hammerdeka!pir sama tuanya seperti bioskop itu sendiri. Pamerdeka!ten pertama film 3D diawali pada akhir abad 19. Adapun film 3D telah hadir sejak tahun 1922. Bahkan sejak tahun 1953 hingga 1954, produksi film 3D telah mencapai 40 film per tahunnya atau tidak berbeda dengan jumlah film yang diproduksi saat ini. Pada tahun 80-an, pembuat film 3D mencoba bangkit dan mulai melakukan produksi film 3D. Sayangnya, seperti periode-periode sebelumnya, semangat berkreativitas pudar di tengah jalan. Dari sini dapat disimpulkan, film 3D gagal selama belum “tersentuh” teknologi digital.

3D membuat setiap adegan film terlihat lebih realistis

Bisa membuat sakit kepala jika tidak dibuat dengan tepat
Film-film 3D sebelum era digital seperti “It Came from Outer Space” (1953), “Jaws3-D” (1983), atau “Mission 3-D” (2003) dianggap hanya untuk menjaga citra pemmerdeka!buat film daripada karya seni itu sendiri. Pasalnya, banyak penonton film 3D mengemerdeka!luh sakit kepala dan gejala ketidaknyamanan lainmerdeka!nya. Salah satu biang keladinya adalah mamerdeka!sih minimnya pengetahuan pembuat film dalam membuat efek 3D yang tepat.

Hal ini juga terjadi pada film 3D demerdeka!ngan banmerdeka!tuan kacamata versi awal memerdeka!rah-hijau atau kuning-biru. Akibat kesamerdeka!lahmerdeka!an pengmerdeka!aturan warna, mata Anda menjadi cepat lelah saat melihat film 3D. Efek lainnya lainnya adalah “stres” pada otak manusia karena fokus kamera dan jarak obyek yang kurang tepat sehingga memaksa otak berpikir-keras saat mata harus tetap terfokus pada layar.

Booming teknologi 3D tidak diduga kehadirannya

Kini, kesalahan teknis tersebut hampir sepenuhnya diminimalisir. Misalnya, penggunaan proyektor berjenis DLP yang demerdeka!ngan cepat bisa memproyeksikan gambar baru, sehingga kedua perspektif yang dibutuhkan untuk 3D dapat ditampilkan bermerdeka!gantian tanpa kentara bagi mata penonton.

Pemilik bioskop memang hanya perlu menyediamerdeka!kan banyak kacamata 3D bagi pengunjungnya. Namun, mereka sebelummerdeka!nya harus melakukan investasi yang tidak sedikit untuk menyediakan infrastruktur 3D berteknologi digital, seperti sebuah proyektor DLP atau SXRD, beserta servernya. Instalasinya juga 10 kali lebih mahal dibanding proyektor 35 mm yang biasa digunakan.



Berbagai pihak banyak yang tidak menmerdeka!duga booming 3D ini datang lebih cepat. Para bos di Hollywood baru menyadari besarnya potensi film 3D bukan karena kesuksesan fenomenal yang diraih film “Avatar”. Mereka baru termotivasi justru setelah melihat respon penonton yang luar biasa saat menyaksikan film musikal remaja “Hannah Montana and Miley Cyrus”.

Oleh karena itu, dengan bujet besar dan tentu saja dibantu teknologi canggih, mereka pun berharap garapan baru ini bisa mendatangkan keuntungan yang tidak kalah besarnya. James Cameron beralasan bahwa mesmerdeka!kimerdeka!pun para sutradara masih enggan, gengsi, atau belum siap membuat film 3D, pihak studio tetap akan jalan sendiri dalam membuat dan mendistribusikan film 3D.

Awalnya wacananya hanya sebatas bagaimana menghadirkan film 3D pada biosmerdeka!kop, tetapi akhirnya para pembuat film mengambil keputusan untuk melakukan produksi film 3D yang lebih besar skalanya sehingga juga dapat dinikmati oleh penonton di rumah-rumah. Produsen elektronik Panasonic merespons langmerdeka!sung dengan menyediakan solusi terbarunya pada pameran Ceatec di Tokyo pada tahun 2008 lalu. Pada pameran tersebut Panasonic untuk pertama kalinya menunjukkan, bagaimana mudahnya mengmerdeka!hadirkan suatu home cinema 3D.

Produsen asal Jepang ini harus modifikasi Blu-ray player, layar plasma, kacamamerdeka!ta 3D (mengatur shutter sisi kiri dan kanan) agar tampilan 3D terlihat nyata dan nyaman ditonton. TV plasma yang resmerdeka!ponmerdeka!sif dan sinkron dianggap cocok untuk film 3D. Bagaimana jika outputnya menggunakan TV LCD? Pergantian gambar pada LCD dilakukan pixel demi pixel, baris demi baris sehingga tidak ada timing ideal untuk direspons shutter pada lensa kacamata. Produsen memerdeka!nyiamerdeka!satinya dengan membuat panel 200 Hz yang menampilkan gabungan dari dua field gambar. Demerdeka!ngan mengaturnya sedemikian rumerdeka!pa, semerdeka!tiap mata memang hanya mendapat porsi waktu seperempat dari yang disediakan (sehingga cahaya yang masuk pun berkurang), tetapi dengan cara itu juga efek kontur berganda dapat dihindari.

Teknologi 3D menelan hingga 4/5 kecerahan (brightness)

Mata penonton yang mengenakan kacamata khusus hanya akan menerima kurang dari 20% intensitas cahaya TV LCD. Namun, berhubung LCD jauh lebih terang daripada plasma, masalah ini masih dapat dikompromikan. Pengguna LCD 200 Hz atau plasma teknologi 3D nyaris tidak memerlukan biaya ekstra untuk dapat menikmati film 3D. Anda cukup dikenakan biaya tambahan tertentu, seperti kacamata khusus yang harganya berkisar US$ 100 (setiap unitnya).

Untuk tampilan besar, salah satu pimerdeka!lihannya adalah LCD TV LG LD950. TV 47 inci dengan metode passive 3D ini bekerja dengan filter polarizing yang ditempel pada bagian depannya. Meskipun LCD ini masih tergolong mahal dan kurang tinggi resolusi gambar 3D-nya, tetapi pengguna dapat menggunakan kacamata yang relatif murah harganya.

Gambar 3D berkualitas dapat ditampilkan oleh Blu-ray player


Blu-ray player dengan profil 3D terbaru dianggap sebagai salah satu cara untuk melakukan playback film 3D ideal dengan kuamerdeka!litas terbaik. Syaratnya, player dan TV yang digunakan juga harus mendukung standar baru HDMI 1.4. Penonton pun cukup dilengkapi dengan kacamata khusus.

Alternatif lainnya adalah siaran TV yang bisa diterima tanpa harus menggunakan receiver digital baru. Beberapa penyedia jaringan TV di negara Eropa dan Jepang juga menyediakan set top box yang telah “3D ready”. Saat ini, TV 3D masih menggunakan metode penggabungkan dua perspektif ke dalam satu gambar (side-by-side atau top-bottom). Demerdeka!ngan demikian, setiap barisnya hanya memasok 960 pixel, tidak seperti pada HDTV yang mencapai 1.920 pixel.



Hingga kini, TV 3D masih bersifat eksklusif. Mayoritas stasiun TV baru sanggup membuat program acara 3D dengan total durasi sekitar 20 jam dalam kuartal pertama 2010. Bandingkan dengan 85.000 jam program biasa (non-3D) yang dapat dibuat stasiun TV. Masalah terbesarnya berpangkal pada proses pemmerdeka!buatan gambar 3D yang masih tergolong rumit karena membutuhkan tripod ganda untuk dua kamera sekaligus. Tripod ini berat dan sulit dioperasikan. Solusi yang lebih baik dan mudah masih dalam pengembangan.

Persoalan fundamental, yaitu menghamerdeka!dirkan display layar 3D yang tidak membutuhkan kacamata, masih belum tuntas diatasi. Memang, untuk ukuran layar kecil sudah tersedia, tetapi hanya bisa dinikmati sendiri. Display 3D ukuran besar tanpa kacamata memang telah ada, tetapi resolusinya turun drastis. Efek 3D-nya pun hilang jika penonton bergerak. Terlepas dari segala kekurangannya, impian menghadirkan gambar 3D di rumah telah menjadi kenyataan di tahun 2010 ini.


Fleksibilitas Saat Melihat dan Merekam 3D



Berbagai inovasi sudah ditempuh dan terus digalakkan oleh produsen untuk menghadirkan kenikmatan maksimum saat menonton content atau tayangan 3D. Setelah memasukki ruang keluarga dan bioskop, dunia mobile pun tidak mau ketinggalan. Tercatat, Nokia, Samsung, dan Sharp sudah berancang-ancang untuk menerapkan teknologi 3D pada ponsel atau smartphone.

merambah dunia smartphone

Para produsen sangat menyadari bahwa aspek mobile dan fleksibilitas harus tetap melekat pada produk ponsel mereka. Seperti juga idaman para produsen TV dan player yang ingin membebaskan konsumen dari “belenggu” kacamata, produsen smartphone bukan hanya menawarkan layar yang dapat menampilkan gambar 3D, tetapi juga mengambil langkah serupa dengan meniadakan keharusan pemakaian kacamata khusus.

Samsung menawarkan ponselnya SCH-W960 yang dilengkapi dengan layar AMOLED 3D untuk menampilkan gambar 3D. Pengguna dapat dengan mudah dapat mengaktifkan fasilitas 3D pada layar 3.2 incinya hanya dengan menekan tombol khusus. Sharp melangkah lebih jauh dengan mengembangkan modul kamera khusus untuk ponsel yang mendukung video 3D dan High Definition (720p). Tekmerdeka!nologi 3D yang digunakan Sharp tersebut diperkirakan juga bakal diterapkan pada game console Nintendo 3DS yang akan datang.

Tablet menunggu giliran?

Bagaimana dengan Nokia? Meskipun belum seagresif produsen Jepang atau Korea Selatan, Nokia juga mulai merangkul teknologi 3D. Tanda-tandanya terlihat dengan kerjasama mereka dengan Intel belum lama ini untuk melakukan penelitian bersama di University of Oulu, Finlandia untuk menghadirkan efek 3D pada platform kolaborasi mereka (MeeGo), bukan hanya pada smartphone, tetapi juga pada perangkat tablet PC yang mulai ramai berdatangan tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...